Gunung Kawi yang terletak di sebelah barat Kota Malang di Jawa Timur selama ini terkenal dengan mitos pesugihannya. Makam keramat Eyang Jugo ini menjadi tempat persinggahan para peziarah yang datang dari berbagai kota di penjuru tanah air. Bahkan dari luar negeri banyak yang berziarah dan ngalap berkah di makam ulama yang konon merupakan pengikut Pangeran Diponegoro tersebut.
Selama ini orang mengenal Gunung Kawi sebagai tempat keramat yang cocok untuk menjalankan ritual yang berhubungan dengan masalah rezeki maupun usaha dan perdagangan. Sehingga tak heran kalau kebanyakan peziarah yang datang didominasi oleh para warga keturunan. Namun dibalik kekeramatan Gunung Kawi sebagai tempat wisata ziarah, ternyata terdapat hal lain yang merupakan misteri dari keunikan Gunung Kawi seperti pengalaman yang dialami oleh Murjiono dan teman-temannya dari kota Surabaya.
Waktu malam Jumat Legi merupakan malam yang menjadi puncak keramaian para peziarah yang datang di Gunung Kawi. Para peziarah sejak sore memadati kompleks pemakaman Eyang Jugo nampak silih berganti berdatangan dan berpindah tempat dari lokasi makam kemudian ke lokasi air keramat yang ada di belakang lokasi makam. Kemudian para peziarah tersebut juga hilir mudik di bawah pohon dewandaru yang merupakan pohon keramat di lokasi tersebut.
Demikian pula halnya dengan Murjiono dengan teman-temannya yang datang dari Surabaya. Mereka bertiga Yudi, Haryono serta Murjiono merupakan tiga sahabat yang berusaha dalam jual beli computer dan spare partnya. Haryono dan Yudi tiap malam Jumat Legi selalu menyempatkan diri untuk berziarah ke Gunung Kawi. Lain dengan Murjiono, kedatangannya ke Gunung Kawi ini merupakan pertama kalinya. Lain dengan kedua temannya yang memang datang dengan niatan untuk berziarah, Murjiono datang dengan niat untuk refresing serta mencari hiburan. Selama ini ia selalu mendengar tentang Gunung Kawi selain terkenal mitos gaibnya tapi juga penuh dengan pendatang yang kebanyakan amoi-amoi cantik. Ini merupakan kesempatan untuk menikmati kehangatan Gunung Kawi begitu celotehnya waktu diajak oleh kedua temannya untuk berangkat.
Karena kesal menunggu kedua temannya yang masih harus antri untuk bisa datang di depan makam, Murjiono memutuskan untuk menunggu di luar makam. Ia kemudian berjalan menuju lokasi ciamsi yang terletak di depan bekas tempat peribadatan yang pernah terbakar. Sifat mata keranjangnya mulai timbul manakala melihat seorang gadis keturunan yang sibuk melakukan ciamsi untuk mengetahui peruntungan nasibnya.
Tanpa sadar ia pun ikut-ikutan melakukan ciamsi.
“Nomor 13,” ucap sang pemandu waktu melihat batang bambu Murjiono keluar.
Sang pemandu dari ritual ciamsi tersebut kemudian memberikan kertas bertuliskan ramalan tersebut dengan kening sedikit berkerut.
“Hati-hati, Mas. Dan perbanyak doa agar terhindar dari musibah,” ucapnya seraya memberikan kertas tersebut kepada Murjiono.
Sekilas Murjiono membaca kertas ciamsi tersebut. Waktu melihat kata-kata ramalan tersebut mulutnya tersenyum sinis. “Ada-ada saja.”
Kertas tulisan tersebut kemudian dibuangnya tanpa menghiraukan pandangan prihatin dari sang pemandu.
“Gara-gara ciamsi tadi aku kehilangan gadis yang aku buru,”omelnya pelan. Matanya berkeliaran mencari gadis yang dimaksud. Tak dihiraukannya kertas ciamsi yang bertuliskan “Hati-hati dalam melangkah. Petaka datang membayang. Perbanyak doa agar balak menjauh.”
Karena merasa kesal kehilangan buruannya Murijono kemudian kembali ke kompleks makam. Perjalanan yang jauh dari Surabaya membuatnya merasa mengantuk.
“Aku beristirahat dulu di bawah pohon itu saja,” ia kemudian melangkah ke arah pendopo di samping makam tempat pohon dewandaru berada.
“Dasar kurang pekerjaan orang-orang ini,” gumannya waktu dilihatnya orang-orang yang duduk di bawah pohon tersebut. “Apa mungkin dengan kejatuhan ranting atau daun pohon ini terus rejeki akan lancar,” ia kembali mengomel melihat para peziarah yang khusuk di bawah pohon tersebut.
Di Gunung Kawi ada semacam kepercayaan mereka yang berziarah lalu bisa membawa buah, ranting ataupun daun yang terjatuh dari pohon peninggalan Eyang Jugo tersebut maka keberuntungannya akan berubah. Seperti halnya yang dialami seorang konglomerat, yang berubah menjadi kaya karena berhasil mendapatkan buah dewandaru.
Dengan sinis, Murjiono menggoyang-goyang pohon tersebut. “Lho jatuh semua daunnya,“ kata dia sambil tangannya menunjuk ke arah daun yang berguguran karena pohon tersebut diguncang-guncang dengan kedua tangannya.
Tiba-tiba ulahnya berhenti manakala melihat pandangan mata marah dari mereka yang berziarah di bawah lokasi pohon tersebut.
“Wah bisa dipukuli orang banyak aku,” kekehnya tanpa menghiraukan pandangan marah dari mereka yang menatapnya. Ia kemudian duduk di serambi pendopo.
Setelah berapa lama ia merasa mengantuk dan tertidur. Dalam tidurnya tersebut, ia merasa dibangunkan oleh seseorang. Pundaknya diguncang-guncang. Spontan Murjiono membuka matanya, mulutnya tersenyum simpul waktu dilihatnya yang memegang pundaknya tersebut adalah amoi cantik yang ingin diajaknya kenalan waktu ciamsi tadi.
“Bangun, Mas,” tegur gadis itu pelan.
Belum sempat Murjiono menjawab gadis tadi menggamit tangannya. “Antarkan aku jalan-jalan,” ucapnya lagi.
Murjiono bergegas bangkit pandangan matanya terus tertuju pada gadis berkulit putih dan bertubuh montok yang ada di hadapannya.
Tanpa sadar ia mengiyakan gadis tersebut dan kemudian mengikutinya. Mereka berjalan menembus keramaian malam. Yang dilihatnya sekarang adalah bangunan-bangunan megah, entah kompleks pertokoan atau perbelanjaan yang penuh dengan para pengunjung yang hilir mudik. Namun yang mengherankan semua penghuni atau mereka yang ada, memakai pakaian Jawa kuno. Sementara di sepanjang jalan raya yang membentang lurus tampak mobil maupun kendaraan dengan berbagai merk berjalan melintas kesana kemari. Baik pengemudi maupun mereka yang berbelanja dan melintas memakai pakaian tradisonal. Yang perempuan berkebaya. Ada juga yang memakai pakaian cina kuno mirip seperti gadis di sampingnya yang mengaku bernama Ling Ling.
“Berada dimana aku?” bisiknya kepada gadis tersebut .
“Di Gunung Kawi,” jawab sang gadis dengan manjanya.
Murjiono seolah terhipnotis dengan kecantikan gadis tersebut. Ia tidak memikirkan hal-hal yang dirasanya aneh tersebut. Dalam benaknya, kota yang besar dan segala fasilitas layaknya Jakarta tersebut memang sudah ada di Gunung Kawi.
.“Ke kafe yuk,” ajak gadis tersebut ke sebuah tempat penuh dengan lampu warna-warni serta suara musik yang hingar bingar.
Ia kemudian melangkah bersama Ling Ling arah kafe yang dimaksud. Di dalam kafe tersebut ia kemudian mengikuti gerakan Ling-ling yang mulai bergoyang mengikuti irama musik yang ada. Lama mereka bergoyang sambil sesekali berpelukan.
Namun tiba-tiba terdengar suara dengusan marah disampingnya. “Dia adalah manusia, bukan dari golongan kita!”
Seorang berbadan tinggi besar berpakaian prajurit dengan membawa tombak yang terhunus kelihatan menunjuk ke arah Murjiono. Namun Murjiono hanya diam terpaku. Ia baru menjerit dan melepaskan pegangan tangannya waktu dilihatnya tubuh mulus Ling Ling yang dipeluknya berubah menjadi bersisik seperti kulit ikan. Matanya melotot seperti mata ikan koki.
Namun ia kembali terdiam manakala orang bertinggi besar yang meneriakinya tadi menyuruh anak buah yang di belakangnya untuk meringkus Murjiono.
Murjiono tak berkutik, manakala ia diseret oleh ketiga orang tersebut. Jalan raya yang tadinya penuh dengan orang-orang hilir mudik, kini penuh dengan berbagai makhluk yang berpenampilan aneh. Ada yang bermata satu, ada juga yang bertanduk. Bahkan ada perempuan berkepala manusia tapi bertubuh kuda. Makhluk-makhluk yang berkeliaran tersebut semakin aneh, sebab ada yang naik mobil. Bahkan ada berjualan di kakilima dengan fissik mereka yang aneh.
Murjiono ketakutan melihat hal tersebut. Ia kemudian dibawa menghadap ke arah sebuah bangunan besar yang menyerupai istana. Lalu ia dihadapkan kepada seseorang yang berpakaian mirip raja, namun berbentuk aneh. Kepalanya bertanduk dua, sementara mulutnya penuh dengan taring runcing.
Ia kemudian diseret, setelah orang yang dipanggil raja tersebut memutuskan hukuman. Murjiono di bawa ke penjara. Namun ia kembali menjerit-jerit ketakutan manakala melihat pemandangan aneh dari penjara tersebut. Tampak anggota tubuh manusia yang bergelantungan karena dipotong tangannya, kakinya, bahkan kepalanya. Tubuh yang terpotong-potong itu bergoyang-goyang ketika terkena angin.
Murjiono semakin ketakutan manakala melihat sang algojo yang berjalan menghampirinya sambil membawa golok. Bersiap-siap memotong-motong anggota tubuhnya. Selanjutnya Murjiono tidak ingat apa-apa lagi.
Tahu-tahu didengarnya suara seseorang. “Beruntunglah ia masih bisa ditolong,” ucap orang tua yang duduk di sampingnya.
“Dimana aku?” teriaknya waktu dilihatnya Yudi dan Haryono tampak duduk di sebelahnya.
Setelah berapa lama, orang tua tersebut menerangkan kepada Murjiono bahwa tingkah laku Murjiono yang iseng dengan menggoyang-goyang pohon dewandaru ternyata telah mengundang para lelembut yang ada di kawasan Gunung Kawi merasa terusik. Ia kemudian terbawa ke alam mereka. Ia dibawa jauh sampai ke puncak Gunung Kawi yang masih berupa hutan lebat dan merupakan pusat lelembut di Gunung Kawi. Beruntung tubuhnya yang tergolek lemah berhasil ditemukan pencari kayu. Dengan bantuan orang pintar nyawa Murjiono berhasil diselamatkan dari ancaman lelembut Gunung Kawi.