Jakarta, NU Online
Sesungguhnya para kekasih Allah tidaklah mati, mereka hanya meninggalkan wujud fisik yang fana, tetapi jiwa mereka abadi.
Al Qur’an dalam surat Ali Imron ayat ke 169 menegaskan “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.”
Kisah tentang “kehidupan” para wali yang sudah meninggal ini bisa diantaranya dialami oleh Gus Dur yang sering berkomunikasi dengan sejumlah wali yang telah lama meninggal, diantaranya dengan Sunan Gunung Jati.
Mantan sekretaris jenderal PBNU H Arifin Junaidi mengisahkan, suatu ketika, ia dherekke Gus Dur ke Cirebon untuk bertemu dengan KH Fuad Hasyim, pengasuh pesantren Buntet. Usai pertemuan yang berlangsung sampai larut malam tersebut, mereka bergerak menuju Pekalongan untuk mengunjungi Habib Lutfi bin Yahya.
Di tengah perjalanan, tepatnya di daerah Losari, sekitar pukul 1 malam. Gus Dur meminta sopirnya untuk kembali lagi, menuju ke makam Sunan Gunung Jati yang berada di kompleks Astana Gunung Sembung Cirebon.
“Saya baru saja dipanggil Sunan Gunung Jati” kata Gus Dur menjelaskan alasannya kembali ke Cirebon.
Anggota rombongan yang lain semuanya terdiam saja, tanpa komentar. Dan perjalanan pun berlanjut sampai di kompleks makam. Herannya, ditengah malam buta tersebut, para juru kunci yang ada semuanya berkumpul, lengkap, menyambut kedatangan Gus Dur tersebut dengan memakai seragam kebesarannya yang biasa dipakai ketika menerima tamu istimewa, seolah-olah sudah ada yang memberi tahu, padahal waktu itu belum ada HP sebagai alat komunikasi yang canggih.
Mereka pun langsung menuju pemakaman. Sebagaimana tradisi Nahdliyin, ketika berziarah, mereka pun memanjatkan dzikir dan tahlil serta mendoakan Sunan Gunung Jati yang telah berjasa menyebarkan Islam di Jawa Barat.
Usai tahlil, Gus Dur tertunduk dan diam saja. Ia lalu keluar dari ruangan tempat dzikir menuju halaman. Arifin masih penasaran kok para juru kunci sudah pada siap menerima kunjungan Gus Dur, padahal sebelumnya tidak ada rencana berziarah.
Ia lalu bertanya kepada seseorang tentang kejadian ini. “Kok sudah pada siap dan siapa yang memberi tahu?” Dijawabnya, semua juru kunci dibangunkan malam-malam itu juga oleh koordinatornya, dan disuruh bersiap oleh Kanjeng Sunan dengan pesan “Cucuku mau datang ke sini.”
Ia pun hanya bisa manggut-manggut keheranan akan fenomena luar biasa ini.
Setelah dirasa cukup ziarahnya, mereka pun kembali melanjutkan perjalanan ke Pekalongan sebagaimana rencana semula. Karena masih penasaran, ia lalu bertanya kepada Gus Dur, kapan dipanggil oleh Sunan Gunung Jati.
“Ya tadi, waktu perjalanan baru dipanggil, disuruh mampir. Ke Cirebon kok ngak mampir.”
Gus Dur juga menjelaskan, waktu dirinya terdiam seusai tahlil, ia sedang berdialog dengan Sunan Gunung Jati, membincangkan berbagai masalah yang dihadapi oleh umat.
Sesungguhnya para kekasih Allah tidaklah mati, mereka hanya meninggalkan wujud fisik yang fana, tetapi jiwa mereka abadi.
Al Qur’an dalam surat Ali Imron ayat ke 169 menegaskan “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.”
Kisah tentang “kehidupan” para wali yang sudah meninggal ini bisa diantaranya dialami oleh Gus Dur yang sering berkomunikasi dengan sejumlah wali yang telah lama meninggal, diantaranya dengan Sunan Gunung Jati.
Mantan sekretaris jenderal PBNU H Arifin Junaidi mengisahkan, suatu ketika, ia dherekke Gus Dur ke Cirebon untuk bertemu dengan KH Fuad Hasyim, pengasuh pesantren Buntet. Usai pertemuan yang berlangsung sampai larut malam tersebut, mereka bergerak menuju Pekalongan untuk mengunjungi Habib Lutfi bin Yahya.
Di tengah perjalanan, tepatnya di daerah Losari, sekitar pukul 1 malam. Gus Dur meminta sopirnya untuk kembali lagi, menuju ke makam Sunan Gunung Jati yang berada di kompleks Astana Gunung Sembung Cirebon.
“Saya baru saja dipanggil Sunan Gunung Jati” kata Gus Dur menjelaskan alasannya kembali ke Cirebon.
Anggota rombongan yang lain semuanya terdiam saja, tanpa komentar. Dan perjalanan pun berlanjut sampai di kompleks makam. Herannya, ditengah malam buta tersebut, para juru kunci yang ada semuanya berkumpul, lengkap, menyambut kedatangan Gus Dur tersebut dengan memakai seragam kebesarannya yang biasa dipakai ketika menerima tamu istimewa, seolah-olah sudah ada yang memberi tahu, padahal waktu itu belum ada HP sebagai alat komunikasi yang canggih.
Mereka pun langsung menuju pemakaman. Sebagaimana tradisi Nahdliyin, ketika berziarah, mereka pun memanjatkan dzikir dan tahlil serta mendoakan Sunan Gunung Jati yang telah berjasa menyebarkan Islam di Jawa Barat.
Usai tahlil, Gus Dur tertunduk dan diam saja. Ia lalu keluar dari ruangan tempat dzikir menuju halaman. Arifin masih penasaran kok para juru kunci sudah pada siap menerima kunjungan Gus Dur, padahal sebelumnya tidak ada rencana berziarah.
Ia lalu bertanya kepada seseorang tentang kejadian ini. “Kok sudah pada siap dan siapa yang memberi tahu?” Dijawabnya, semua juru kunci dibangunkan malam-malam itu juga oleh koordinatornya, dan disuruh bersiap oleh Kanjeng Sunan dengan pesan “Cucuku mau datang ke sini.”
Ia pun hanya bisa manggut-manggut keheranan akan fenomena luar biasa ini.
Setelah dirasa cukup ziarahnya, mereka pun kembali melanjutkan perjalanan ke Pekalongan sebagaimana rencana semula. Karena masih penasaran, ia lalu bertanya kepada Gus Dur, kapan dipanggil oleh Sunan Gunung Jati.
“Ya tadi, waktu perjalanan baru dipanggil, disuruh mampir. Ke Cirebon kok ngak mampir.”
Gus Dur juga menjelaskan, waktu dirinya terdiam seusai tahlil, ia sedang berdialog dengan Sunan Gunung Jati, membincangkan berbagai masalah yang dihadapi oleh umat.