Jakarta, NU Online
Suatu pagi di tahun 2005 media cetak nasional memberitakan perihal mutasi perwira tinggi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia, sesuatu yang normal dan rutin terjadi sebagai bentuk penyegaran dan proses regenerasi.
Sudah menjadi kebiasaan rutin Gus Dur untuk mendengarkan perkembangan terkini dari berita-berita yang dibacakan oleh ajudan atau santrinya di pagi hari, sambil melayani para tamu yang berdatangan di rumahnya, di bilangan Ciganjur Jakarta Selatan.
Salah satu perwira yang mendapat promosi adalah mantan ajudan Gus Dur ketika menjadi presiden, Kombes Pol Sutarman yang naik pangkat menjadi Brigjend Pol dan menjabat sebagai Kapolda Kepulauan Riau. Karena secara langsung pernah berinteraksi dengan Gus Dur, berita tersebut juga dibacakan di hadapan Gus Dur. Kebetulan, yang menemani pagi itu Nuruddin Hidayat, salah seorang santri Gus Dur.
Nuruddin: “Pak, Pak Tarman dilantik jadi Kapolda Kepri, naik pangkatnya jadi bintang satu.”
Gus Dur : “O…ya, sebelumnya dia tugas dimana?
Nuruddin: “Di Polda Jatim Pak, terakhir sih Kapolwil Surabaya, nek mboten klentu (kalau tidak keliru),”
Nuruddin: “Pak Tarman niku (ini) ajudan sangking (dari) polisi yang terakhir gih (ya) Pak?
Gus Dur: “Ya, Sutarman gantiin Pak Halba”
Nuruddin: “Pak Tarman niku priyantun pundi (asalnya dari mana) Pak?”
Gus Dur: “Pak Tarman iku wong (orang) daerah sekitar Solo situ, tepatnya dimana, saya ngak tahu.”
Sejenak Gus Dur terdiam beberapa orang yang mengobrol bersamanya juga terdiam, menunggu mungkin ada satu hal penting yang diucapkan oleh Gus Dur.
Lalu…
Gus Dur: “Pak Tarman itu orang desa biasa bukan dari kalangan orang kaya, tapi mengko bakale dadi Kapolri” (Pak Tarman itu orang biasa dari desa bukan anaknya orang kaya, tapi nanti dia akan jadi Kapolri)”
Nuruddin: O…nggaten toh Pak (oh, begitu ya)……
Diam-diam Nuruddin pun mencatat ucapan Gus Dur dalam memorinya dan mengikuti terus tour of duty-nya Jendral Pol Sutarman.
Sutarman, lulusan Akademi Kepolisian 1981 ini mengawali kariernya di Kepolisian pada 1982, sebagai Kepala Staf Lalu Lintas Kepolisian Resor Bandung. Dalam waktu yang tidak lama, ia sudah menjadi Kepala Kepolisian Sektor Dayeuh, Bandung.
Kariernya melejit setelah menjadi ajudan Presiden Gus Dur pada 2000. Tahun 2004 sudah menjadi perwira menengah dan dipercaya sebagai Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya
Setelah ramalan Gus Dur tersebut, ia terus berkibar, menjadi Kapolda Kepulauan Riau, Kepala Sekolah Calon Perwira, Kapolda Jawa Barat, Kapolda Metro Jaya, sampai akhirnya menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri sejak 6 Juli 2011 dan dilantik menjadi Kapolri pada 25 Oktober 2013.
Saat nama Sutarman disebut-sebut sebagai calon Kapolri di media, Inayah Wahid, putri terakhir Gus Dur bersama Nuruddin Hidayat, berkunjung ke kantor redaksi NU Online. Kami asyik membicarakan sejumlah kisah kewalian Gus Dur ini, salah satunya kisah perjalanan karier Sutarman.
“Kita lihat saja bagaimana prosesnya, nanti kalau sudah benar-benar dilantik jadi Kapolri, baru kita tulis.” begitu kesimpulan bersama dari obrolan tersebut, dan ternyata, apa yang pernah diomongkan oleh Gus Dur tersebut benar.
Suatu pagi di tahun 2005 media cetak nasional memberitakan perihal mutasi perwira tinggi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia, sesuatu yang normal dan rutin terjadi sebagai bentuk penyegaran dan proses regenerasi.
Sudah menjadi kebiasaan rutin Gus Dur untuk mendengarkan perkembangan terkini dari berita-berita yang dibacakan oleh ajudan atau santrinya di pagi hari, sambil melayani para tamu yang berdatangan di rumahnya, di bilangan Ciganjur Jakarta Selatan.
Salah satu perwira yang mendapat promosi adalah mantan ajudan Gus Dur ketika menjadi presiden, Kombes Pol Sutarman yang naik pangkat menjadi Brigjend Pol dan menjabat sebagai Kapolda Kepulauan Riau. Karena secara langsung pernah berinteraksi dengan Gus Dur, berita tersebut juga dibacakan di hadapan Gus Dur. Kebetulan, yang menemani pagi itu Nuruddin Hidayat, salah seorang santri Gus Dur.
Nuruddin: “Pak, Pak Tarman dilantik jadi Kapolda Kepri, naik pangkatnya jadi bintang satu.”
Gus Dur : “O…ya, sebelumnya dia tugas dimana?
Nuruddin: “Di Polda Jatim Pak, terakhir sih Kapolwil Surabaya, nek mboten klentu (kalau tidak keliru),”
Nuruddin: “Pak Tarman niku (ini) ajudan sangking (dari) polisi yang terakhir gih (ya) Pak?
Gus Dur: “Ya, Sutarman gantiin Pak Halba”
Nuruddin: “Pak Tarman niku priyantun pundi (asalnya dari mana) Pak?”
Gus Dur: “Pak Tarman iku wong (orang) daerah sekitar Solo situ, tepatnya dimana, saya ngak tahu.”
Sejenak Gus Dur terdiam beberapa orang yang mengobrol bersamanya juga terdiam, menunggu mungkin ada satu hal penting yang diucapkan oleh Gus Dur.
Lalu…
Gus Dur: “Pak Tarman itu orang desa biasa bukan dari kalangan orang kaya, tapi mengko bakale dadi Kapolri” (Pak Tarman itu orang biasa dari desa bukan anaknya orang kaya, tapi nanti dia akan jadi Kapolri)”
Nuruddin: O…nggaten toh Pak (oh, begitu ya)……
Diam-diam Nuruddin pun mencatat ucapan Gus Dur dalam memorinya dan mengikuti terus tour of duty-nya Jendral Pol Sutarman.
Sutarman, lulusan Akademi Kepolisian 1981 ini mengawali kariernya di Kepolisian pada 1982, sebagai Kepala Staf Lalu Lintas Kepolisian Resor Bandung. Dalam waktu yang tidak lama, ia sudah menjadi Kepala Kepolisian Sektor Dayeuh, Bandung.
Kariernya melejit setelah menjadi ajudan Presiden Gus Dur pada 2000. Tahun 2004 sudah menjadi perwira menengah dan dipercaya sebagai Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya
Setelah ramalan Gus Dur tersebut, ia terus berkibar, menjadi Kapolda Kepulauan Riau, Kepala Sekolah Calon Perwira, Kapolda Jawa Barat, Kapolda Metro Jaya, sampai akhirnya menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri sejak 6 Juli 2011 dan dilantik menjadi Kapolri pada 25 Oktober 2013.
Saat nama Sutarman disebut-sebut sebagai calon Kapolri di media, Inayah Wahid, putri terakhir Gus Dur bersama Nuruddin Hidayat, berkunjung ke kantor redaksi NU Online. Kami asyik membicarakan sejumlah kisah kewalian Gus Dur ini, salah satunya kisah perjalanan karier Sutarman.
“Kita lihat saja bagaimana prosesnya, nanti kalau sudah benar-benar dilantik jadi Kapolri, baru kita tulis.” begitu kesimpulan bersama dari obrolan tersebut, dan ternyata, apa yang pernah diomongkan oleh Gus Dur tersebut benar.